Showing posts with label SEJARAH. Show all posts
Showing posts with label SEJARAH. Show all posts

Monday

Kilas Balik ( Ngaben Ngerit Desa Adat Sema 2013)

     Warga Desa Pekraman (Adat) Sema, Desa Melinggih Kaja, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali, menggelar ngaben massal. Ngaben tersebut melibatkan 63 sawa (kerangka jenazah) satu di antaranya ada yang baru meninggal tiga hari menjelang kegiatan digelar. sawa terdiri atas berbagai keturunan (soroh) seperti Sangging, Pasek, Bendesa Mas dan Brahmana membaur dalam kegiatan ngaben massal tersebut. Warga Desa Pekraman (Adat) Sema yang berjumlah 437 kepala keluarga semuanya terlibat dalam persiapan ngaben massal tersebut dan masing-masing ikut menanggung biaya sebesar Rp 793.000 per kepala keluarga. Ngaben massal merupakan lambang persaudaraan agung yang tumbuh dari rasa kebersamaan dalam 'menyama beraya' (persaudaraan) antar sesama umat manusia, sekaligus landasan kehidupan sehari-hari yang dijalani.


































Sunday

Pura Luhur Natar Sari Apuan

Stana Sang Hyang Siwa Pasupati, Tempat ''Paruman'' Barong Jika umat Hindu pedek tangkil ke Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan pada saat pujawali ageng, ada sesuatu yang unik dapat disaksikan. Pura yang di-empon lima desa adat -- Apuan, Jelantik, Tua, Bunutin dan Pinge -- itu dikenal sebagai kahyangan tempat nunas pasupati tapakan barong. Maka ketika berlangsung pujawali -- yang jatuh pada setiap Saniscara Kliwon Wuku Krulut Tumpek Krulut (setahun sekali) -- puluhan tapakan barong lunga ke pura tersebut. Barong yang menjadi sungsungan umat Hindu di lima kabupaten di Bali itu datang mengikuti prosesi katuran tengah malam, dan sebagian di antaranya masolah. Apalagi yang unik di kahyangan jagat itu?
Pura Natar Sari terletak di perkampungan -- Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, sekitar 40 km utara Denpasar. Di pura ini terdapat pelawatan Ida Batara sejenis wayang wong yang memakai figur dan topeng wayang seperti Rahwana, Hanoman, Sugriwa, Anila dan dua punakawan Sangut dan Delem. Figur-figur pelawatan itu berjumlah sembilan. Dalam Purana Pura Luhur Natar Sari yang ditulis K. Sudarsana dan I Wayan Widarsana, S.Sos. disebutkan, tapakan berjumlah sembilan itu disebut Nawa Sangga atau Gunung Sia adalah perwujudan atau manifestasi Tuhan dalam bentuk Dewata Nawa Sangga yang disimbolkan dengan tokoh pewayangan.
Anoman, warnanya putih merupakan perlambang Dewa Iswara bersenjata bajra.
Anggada, warnanya dadu merupakan perwujudan Sang Hyang Maheswara.
Singajnana warnanya merah lambang Dewa Brahma.
Sugriwa warnanya jingga perlambang Dewa Rudra,
Sangut atau Ratu Ngurah Ketut warnanya kuning perlambang Dewa Mahadewa.
Anila warnanya hijau perlambang Dewa Sangkara.
Delem atau Ratu Ngurah Made warnanya kehitam-hitaman perwujudan Dewa Wisnu.
Sempati warnanya abu-abu perlambang Dewa Sambu dan
Rahwana atau Ratu Ngurah Sakti Ngawa Rat dengan warna mancawarna perwujudan Dewa Siwa.
Pewayangan Ida Batara tersebut merupakan manifestasi Sang Hyang Siwa Pasupati -- Tuhan Yang Mahakuasa. Di pura yang satu areal dengan Pura Puseh Desa Adat Apuan dan Jelantik ini terdapat sejumlah pelinggih. Pelinggih yang digunakan untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widi Wasa adalah Padmasana (Padma Lingga). Padmasana tinggi besar itu berdiri menghadap ke selatan, berdampingan dengan Padma Tiga dan Gedong Simpen. Di atas Padmasana ditempatkan sebuah batu hitam berisi tapak tangan (kara tala). Di utamaning mandala pura juga terdapat pelinggih Padma Tiga, pesimpangan Pura Dalem Peed, pesimpangan Pura Batu Bolong, Pesimpangan Pura Pucak Padang Dawa, Pura Ulun Danu, Pesimpangan Pura Jati dan sebagainya. Pelingih lainnya berupa Papelik, Gedong Simpen, Bale Pawedan, Bale Pemayasan, Meru Tumpang Tiga, Panglurah, dan sejumlah Bale Paruman. Pura Luhur Natar Sari memiliki keterkaitan dengan Pura Pucak Padang Dawa (juga di wilayah Kecamatan Baturiti). Pura Pucak Padang Dawa merupakan payogan Ida Batara yang distanakan di Pura Luhur Natar Sari. Atau, Pura Natar Sari merupakan penataran dari Pura Pucak Padang Dawa. Hal itu dikuatkan oleh uger-uger atau bukti-bukti di antaranya, jika tapakan Ida Batara Pura Natar Sari akan melancaran/ lunga/ ngunya ke jaba kuta, pertama-tama mesti makolem -- napak pertiwi/ mayasa di payogan Ida Batara di Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Bukti lainnya, pemangku Pura Penataran Agung Pucak Padang Dawa dan pemangku Pura Dalem Purwa Pucak Padang Dawa berasal dari Apuan. Apit lawang pada kebanyakan pura di Bali berupa pelinggih, namun di Pura Pucak Padang Dawa berupa manusia hidup yang berasal dari Desa Apuan -- yang pratisentana-nya masih ada sampai sekarang. Bukti lainnya, pada saat pujawali ageng di Pura Luhur Natar Sari, wajib ngunggahang upakara (banten) di Pura Penataran Agung Pucak Padang Dawa. Selain memiliki keterkaitan dengan Pura Pucak Padang Dawa, Pura Luhur Natar Sari juga terkait dengan Pura-pura lain. Misalnya: Pura Pucak Peninjauan di Banjar Tampakkarang Apuan, Pura Bakungan di Banjar Uma Poh,Desa Bangli-Baturiti, Pura Pucak Sari Nadi-Baturiti, Pura Batu Lumbang di Desa Sandan-Baturiti, Pura Bukit Sari Baturiti, Pura Gunung Lebah di Banjar Tegeh-Angseri, Pura Paruman di Belayu-Marga, Pura Puser Tasik-Marga, Pura Batu Bolong Canggu-Badung, Pura Pucak Sangkur di Candi Kuning, dan Pura Dalem Peed-Klungkung. Pura Natar Sari terkait pula dengan Pura Pucak Anyar-- Pesimpangan Pura Pucak Pengungangan-Baturiti, Pura Taman Sari di Banjar Apit Yeh-Baturiti, Pura Jemeng di Banjar Pinge-Marga, Pura Purusadha (Pura Sada) Kapal-Badung, Pura Bukit Gede Poyan Luwus-Baturiti, Pura Panti Apuan, Pura Bencuing-Kukub-Perean, Pura Pucak Tinggan-Angseri Tabanan, Pura Penataran di Banjar Sandan-Baturiti, Pura Taman Ayun-Mengwi Badung, Pura Tri Kahyangan Desa Adat Apuan-Jelantik Baturiti Tabanan, Pura Bukit Sari Apuan Tabanan, Pura Puseh Desa Adat Tua-Marga Tabanan, Pura Pucak Rinjani-Baturiti Tabanan, Pura Jati, Batur, Kintamani-Bangli, Pura Campuan Ubud-Gianyar, Pura Kekeran Manik Gunung, Pura Katik Lantang Ubud Gianyar, dan Pura Puseh Gelagah-Marga Tabanan. Tahun 2004 di Pura ini sempat digelar Karya Agung Mamungkah lan Ngenteg Linggih mengambil tingkatan utamaning utama. Pujawali di Kahyangan Jagat yang bertepatan dengan rerahinan Tumpek Krulut ini, selalu ngerawuhin barong dalam jumlah yang banyak. Demikian pula pada pujawali Sabtu (8 maret 2008) lalu, 27 tapakan barong yang menjadi sungsungan ribuan umat Hindu di lima kabupaten -- Tabanan, Gianyar, Badung, Bangli dan Jembrana -- hadir mengikuti prosesi upacara yang dalam bahasa umat setempat disebut katuran. Dalam prosesi katuran, seluruh Tapakan Ratu Gede napak pertiwi. Sesuhunan di Pura Luhur Natar Sari -- Ida Batara Nawa Sanga dan semua Tapakan Ratu Gede -- diturunkan dari Bale Paruman, Bale Tiang Sanga dan Bale Pemayasan guna napak pertiwi. Para penyungsung mundut Ida Batara selama upacara katuran yang berlangsung sekitar dua jam. Para pamedek saling bergantian mundut Ida Batara, menambah eratnya rasa persaudaraan (penyamabrayan). Para pemangku dari berbagai desa pakraman bahu-membahu ngaturang ayah. Mereka mengantarkan umat ngaturang bakti ke hadapan Hyang Widi, guna memohon kerahayuan jagat. Setelah katuran selesai Ida Tapakan Ratu Gede kembali distanakan di Bale Paruman. Beberapa di antaranya lalu dipentaskan (masolah). Para pamedek sama-sama menyaksikan pergelaran tari wali tersebut. Prosesi ritual seperti itu sesungguhnya berdimensi religius sekaligus sosial-budaya. Artinya, masyarakat Hindu dari berbagai daerah selain terlibat dalam proses ritual dalam rangka memohon kerahayuan jagat, juga menyatu dalam kebersamaan, mempererat tali kekerabatan, berinteraksi membangun kesadaran beragama dan melestarikan budaya.

Saturday

SEJARAH KAHYANGAN DI BUMI PAYANGAN KEKUATAN TUHAN YANG UTAMA

Payangan adalah salah satu Kecamatan di kabupaten Gianyar yang berada diketinggian 600 meter diatas permukaan laut dan berbatasan langsung dengan wilayah bukit Kintamani Bangli sehingga daerah ini terkenal sangat subur terutama dalam pertanian maupun perkebunan sayur-mayur,kopi,coklat dll. Pada jaman dahulu nama Payangan adalah Parahyangan yang berarti Kahyangan dikarenakan jauh sebelum kedatangan Rsi Markandeya ke Nusa Dawa (Bali) tempat ini adalah pancer Hyang suci berstana dengan kata lain Bumi Parahyangan adalah sebagai stana tempat melinggihnya para Hyang Bhatara-Bhatari di Bali sehingga pada jaman dahulu bernama Parahyangan yang secara singkat pada saat ini pengucapannya menjadi Payangan. Salah satu dari Kahyangan Tua/Pura Kuno di wilayah Payangan adalah Pura Dalem Agung Payangan mengenai asal-usul berdirinya pura keramat dan tertua ini sebagai Parahyangan ida Bhatari Dalem Lingsir karena yang melinggih di Pura Dalem Agung Payangan adalah Bhatari Durga sebagai sakti dari Dewa Siwa dan mengapa dikatakan lingsir karena Pura Dalem ini yang pertama kali ada di Payangan dan satu-satunya Pura Dalem tertua di Bali sehingga sering disebut Dalem Tua dan juga di dalam Markandeya Purana Tatwa yang tersimpan baik di Pura Penataran Agung Besakih mencatat bahwa Sejarah keberadaan Pura Dalem Agung Payangan yang dahulu bernama Kahyangan Dalem Jagat Purwa ini sangat erat kaitannya dengan perjalanan suci Rsi Markandeya di Bali pada abad ke-8 dan beliau adalah seorang Mahayogi penganut aliran Siwa yang berasal dari India Selatan.
Kori Agung Pura Dalem Agung Payangan
Pura Dalem Agung Payangan dalam sejarahnya yang dahulu bernama Kahyangan Dalem jagat Purwa dikarenakan Pura tersebut berlokasi di timur Kahyangan Murwa Bumi sebagai Pusat Bumi (Murwaning Bumi) yang secara Geografis memang letak wilayah Payangan ini tepat berada di tengah-tengah Pulau Bali, dan terbukti di dalam Markandeya Purana Tatwa yang tersimpan baik di Pura Penataran Agung Besakih menyebutkan bahwa setelah Rsi Markandeya membangun Kahyangan Dalem Amurwa Bumi (Murwa Bumi) ring Parahyangan dan setelah itu juga kembali Rsi Markandeya membangun Kahyangan Dalem Jagat Purwa ring Parahyangan sehingga kedua Pura ini adalah sebagai dasar dari kekuatan spiritual di Pulau Bali dan selama berabad-abad pada jaman Rsi Markandeya tepatnya pada abad ke-8 hingga pada jaman Kerajaan Payangan di abad ke-16. Kedua pura ini hanya Pura Dalem Jagat Purwa saja yang berubah nama dan statusnya menjadi Pura Dalem Agung Payangan yang berarti Pura Dalem yang Utama dan terbesar serta sebagai pusat/induk dari seluruh Pura Dalem di desa-desa wilayah kecamatan Payangan.
Arca Pralingga Pura Dalem Agung Payangan
Pura Dalem Agung ini terdapat berbagai peninggalan berupa arca pralingga dewa dengan berbagai bentuk dan ukuran yang terbuat dari batu padas sehingga terlihat jelas kesederhanaan dalam pembuatan arca patung tersebut pada masa lampau seperti arca bedogol raksasa-raksasi,arca dewa menunggang harimau,arca dewa siwa menunggang Nandini,arca singa,arca pendeta/Rsi,arca bedogol durga Bairawi dll. belum lagi menurut Jro Mangku Gede ada beberapa arca-arca patung yang rusak karena sudah terlalu tua sehingga digunakan sebagai dasar utama bangunan di masing-masing pelinggih Pura Dalem Agung Payangan ini.
Dewa Siwa & Dewi Uma / Durga
Keunikan dari Pura Dalem Agung Payangan adalah terdapatnya Gedong Pemijilan Agung yang artinya Pemijilan adalah (mijil) suatu permulaan atau awal sehingga Pura Dalem Agung Payangan adalah Pura Dalem yang paling awal ada di Bali dan juga sebagai Stana dari Hyang Bhatara Siwa Guru (Dewa Siwa) sehingga Pura Dalem Agung Payangan ini memiliki symbol pemujaan utama Purusa dan Pradana. terlebih lagi adanya Pelinggih Bujangga yang sejak dahulu apabila ada odalan gede/ageng selain Jro Mangku sudah ada yang memuput di alam luhur (Bhatara) beliau adalah ida Bujangga Siwa Sakti dan tersedia peralatan-peralatan upacara lengkap seperti halnya ida Pandita maupun ida Pedanda di pelinggih Bujangga tersebut. Keunikan lainnya yaitu adanya Bale Pejagalan/Bale timbang yang terletak di Madya Mandala, berfungsi secara niskala Bale Pejagalan ini untuk menimbang baik buruknya perbuatan roh manusia yang telah mati pada saat manusia itu hidup di dunia (marcapada) atau dapat disebut juga sebagai Akhiratnya Dunia. selain itu juga di Utama Mandala terdapat Pelinggih Banaspati yang secara mitologi Hindu Banaspati adalah Raja Jin,Setan,Memedi,Gandarwa,Roh halus,Penguasa Hutan Angker dll. fungsi beliau di Pura Dalem Agung Payangan ini sebagai pepatih dari ida Bhatari Dalem lingsir.
Tegik Pemuwunan Agung (Pura Dalem Agung Payangan)
Tegik Pemuwunan Agung berada tepat di depan Pura Mrajapati yang berdampingan dengan Pura Dalem Agung Payangan, fungsi utama dari Tegik pemuwunan Agung tersebut selain sebagai tempat Pasupati/ngerehin Ratu Rangda dan Ratu tapakan Barong juga pada jaman Kerajaan besar di Bali dan pada abad ke-16 Tegik Pemuwunan Agung digunakan sebagai tempat pemuwunan utama jenazah Raja Payangan sehingga status Tegik Pemuwunan ini lebih tinggi dibandingkan dengan Pemuwunan biasa pada umumnya di Kahyangan tiga Pura Dalem lain yang ada di Bali karena Tegik pemuwunan Agung di perlambangkan Gunung sebagai stana ritual Dewa siwa dalam wujud Hyang Siwa Bhairawa atau Bergelar Rudra Murti manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam melebur segala unsur ciptaannya. Dari bentuk fisik Tegik Pemuwunan Agung ini sebagai yang tertinggi dan terbesar di Payangan yang mencapai tinggi Tegik lebih dari tiga meter dan menurut keyakinan turun-temurun masyarakat desa adat setempat awal Pembangunan Tegik Pura Dalem Agung Payangan ini di jaman dahulu adalah sebagai tempat pemujaan utama Sekte Bhairawa di Bali yang menggunakan Caru lima kepala manusia/tenggek sebagai Dasarnya dan Darah dari kepala manusia sebagai perekat dari bangunan Tegik pemuwunan Agung tersebut. sehingga Tegik tersebut menjadi kokoh,beraura Magis dan bertaksu sehingga apapun baik itu Barong,tapel,keris pejenengan,benda-benda bertuah lainnya kalau di Pasupati tepat berada di atas tegik pemuwunan Agung tersebut akan terlihat perbedaannya dan jauh memiliki kekuatan Magis dari sebelumnya.
Utama Mandala / Jeroan Pura Dalem Agung Payangan
Pura Dalem Agung Payangan dibagi menjadi Tri Mandala yaitu Nista Mandala,Madya Mandala dan Utama Mandala akan tetapi Pura Dalem ini memiliki perbedaan tersendiri dan mungkin hanya ada satu-satunya di Bali yaitu konsep Palemahan Tri Mandala Pura Dalem yang benar-benar turun ke Dalam dan sebenarnya nama dari Dalem bukan berarti Dalem Raja melainkan sulit di dekati atau jauh ke Dalam (Siwa-Durga) sehingga ada istilah Tuhan tidak akan mudah di dekati terkecuali manusia tersebut sudah dalam proses pencerahan atau menjauhi sifat duniawi menuju kesucian dan keiklasan lahir bathin atau dapat kembali kepada Sang Pencipta melalui kematian. begitu juga dengan ajaran Durga kiwa (kiri) dan Siwa tengen (kanan) dan inilah yang di sebut Rwa Bhineda siklus kehidupan dan baik buruknya Dunia semua ada di Pura Dalem Agung Payangan ini. Pernah dahulu di jaman Kerajaan Payangan masyarakat dan Puri Payangan berkeinginan merubah system Tri Mandala Pura Dalem Agung Payangan ini agar sama dengan Pura Dalem lainnya yang ada di Bali yaitu Madya Mandala dan Utama Mandala bertahap ke Atas atau pun sejajar tetapi entah kenapa terjadi keanehan yaitu tanah yang sudah diratakan/diurug sebagai dasar dari Utama Mandala tidak kunjung penuh maupun tinggi sebagai mana yang diharapkan dan anehnya lagi secara tiba-tiba Taru Beringin yang berusia ratusan tahun tumbang menimpa Paruman Agung sebagai tanda Ida Bhatari tidak menyetujui kegiatan ini dan ternyata benar menurut Jro Mangku lingsir sebagai pengempon Pura Dalem Agung Payangan mengatakan bahwa Ida Bhatari yang melinggih di Dalem Agung ini tidak berkenan kalau Parahyangannya di Rusak atau pun dirubah dan Ida Bhatari berkeinginan biarkan Parahyangan ini seperti apa adanya sama halnya pada saat Parahyangan/Pura ini ada di Bumi Payangan dan apabila kegiatan ini masih dilanjutkan akan ada resiko sangat besar yaitu berupa bencana baik itu Sekala maupun Niskala dengan adanya hal tersebut Masyarakat dan Puri Payangan tidak berani mengambil resiko tersebut dikarenakan takut akan kemarahan (Kroda) ida Bhatari Dalem yang tidak lain adalah Dewi Durga beliaulah yang mengendalikan Urip/hidup Matinya Manusia di Bumi (Pralina) dengan kekuatan Sakti Hyang Rudra Murti nama lain dari Dewa Siwa dalam melebur alam semesta beserta isinya dan semenjak saat itu Utama Mandala Pura Dalem Agung Payangan tetap seperti aslinya. Ajaran Sadcakra yaitu ajaran tentang enam kekuatan dalam tubuh dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia yang bersumber dari sekte Bhairawa (Siwa-Durga). Menurut ajaran sekte ini dan rontal-rontal yang termuat dalam tantrayana seperti lontar Gong Besi yang menyebutkan lingkaran Muladara dalam bagian perut pusar manusia yang berada di bawah adalah berbentuk Lingga Siwa dan yang mengelilinginya dengan tiga setengah adalah Dewi Durga itu sendiri dan dengan latihan-latihan khusus Cakra Durga ini dapat dibangunkan dari sikap tidurnya yang melingkar dan naik sampai ke lingkaran-lingkaran halus badan yang paling tinggi. Istilah ajaran Tantrayana berasal dari akar kata “Tan” yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan dari pada Dewa itu. Di India penganut Tantrisme identik dengan Dewa Siwa dan banyak terdapat di India Selatan dan india tengah dibandingkan dengan India Utara. Kitab-kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali dan di Indonesia dari Tantrisme munculah suatu faham “Bhairawa” atau “Bhairawi” yang artinya hebat/Dahsyat.
Mrajapati Pura Dalem Agung Payangan
Dalam upacara memuja Bhairawa dilakukan oleh para penganut aliran Tantrayana, dan aliran ini biasanya diterapkan oleh para Yogi/Rsi yaitu dengan cara agar dapat bersatu dengan Dewa Siwa pada saat mereka masih hidup karena pada umumnya mereka bersatu atau bertemu dengan para dewa pada saat setelah mati sehingga mereka melakukan upacara jalan pintas yang disebut dengan ritual Pancamakarapuja di kuburan maupun di Tempat pembakaran mayat dengan cara seseorang melakukan sembah bhakti kepada Dewa Siwa. Mitologi India menyebutkan bahwa Gunung Himalaya adalah tempat Kahyangan Dewa Siwa tetapi beliau lebih senang bepergian ke Bumi terutama di tempat-tempat angker seperti kuburan maupun tempat pembakaran mayat karena beliau selalu melakukan ritual misterius sehingga beliau juga bergelar sebagai Rudra Murti (Pelebur tertinggi) karena mengetahui hal tersebut manusia melakukan puja bhakti itu di kuburan maupun pembakaran mayat agar mendapatkan anugerah kesaktian maupun Sidhi dari Dewa Siwa itu sendiri.
Dewa Siwa Durga Sakti Dewi Mahakali
Pada jaman dahulu di Nusantara penjagaan keamanan dan pengendalian pemerintahan di wilayah kekuasaan berdasarkan pada kharisma dan kekuasaan Raja. Seperti di abad ke-12 Raja Jawa Singasari yaitu Kertanegara menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kekuatan Kaisar Mongol Khu Bhi Lai Khan yang menganut Bhairawa Heruka. aliran-aliran Sekte Bhairawa cenderung bersifat politik, untuk mendapatkan kharisma besar yang diperlukan dalam pengendalian pemerintahan dan menjaga keamanan wilayah kekuasaan kerajaan,seperti halnya pemimpin dari kalangan militer di masa sekarang, Karena itu raja-raja dan petinggi pemerintahan serta pemimpin masyarakat pada zaman dahulu banyak yang menganut aliran sekte ini. Di ceritakan bahwa patih Majapahit Adityawarman/Arya Damar turut serta dalam ekspansi Majapahit ke Bali (Bedahulu) pada tahun 1343 yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada. Diceritakan bahwa ia dan saudara-saudaranya membantu Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit untuk menyerbu Kerajaan Bedahulu Pejeng, Gianyar Bali. Kerajaan Bedahulu adalah kerajaan Bali kuno yang berdiri sejak pertengahan abad ke-9 sampai abad ke-14 yang diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Sri Warmadewa. Ketika menyerang Bali, raja Bali Bedahulu Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menguasai saat itu adalah seorang Bhairawa penganut ajaran Durga Bhairawi.
Sakti Siwa Durga Kala Cakra
Untuk mengalahkan Raja Bali yang terkenal sakti itu Majapahit mengatur siasat agar Raja dan Mahapatih Bali harus dipisahkan kalau tidak Kerajaan Bali akan sulit untuk di taklukan dikarenakan Mahapatih Bali yaitu Kebo iwa adalah Mahapatih yang sangat kebal dari senjata tajam apapun dan dengan itu Mahapatih Gajah Mada mengatur siasat agar Mahapatih Kebo iwa di undang ke Jawa (Majapahit) dan juga memisahkan kedua kekuatan Utama Kerajaan Bali yaitu antara Raja Bedahulu dan Patihnya Kebo iwa, sehingga dengan hal itu Majapahit juga mengutus Patih Adityawarman yang menganut Bhairawa Kalacakra untuk mengimbangi kesaktian raja Bali Bedahulu. Pertempuran Dahsyat sesama penganut Bhairawa yang terjadi berakhir dengan kekalahan Raja Bedahulu dengan kekalahan itu maka Raja Bedahulu Sri Astasura Ratna Bumi Banten disebutkan pergi menyelamatkan diri dari pengejaran tentara Majapahit ke arah Bukit Gianyar Payangan dan Bukit Kintamani Bangli yang memang daerah itu sebagai pusat mayoritas masyarakat Bali Aga sehingga Kerajaan Bali Bedahulu dengan mudah berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit dan Mahapatih Bedahulu Kebo iwa gugur di jawa dikarenakan siasat tipu daya Mahapatih Gajah Mada. Aliran sekte Bhairawa di Bali sudah berkembang pesat sejak abad ke-8 penyebaran ajaran ini bersamaan dengan kedatangan Rsi Markandeya di Bali dan juga beliau menurunkan berbagai Sekte-sekte di Bali seperti Pasupatha,Siwa Sidhanta,Bhairawa,KalaMukha,Sambhu dan linggayat. sehingga Pada abad ke-11 datanglah Mpu Kuturan yang beraliran Budha Mahayana sebagai penasihat utama (Purohita) Raja Bali Dwipa Sri Dharma Udayana Gunapriya Dharmapatni yang memperintahkan agar Mpu Kuturan mempersatukan seluruh sekte-sekte yang ada di Bali termasuk Sekte Bhairawa agar menjadi satu kesatuan yaitu Tri Murti Kahyangan tiga/kekuatan tuhan yang utama Brahma,Wisnu,Siwa dan Sekte Bhairawa beralih fungsi menjadi Pura Dalem yang memuja kesaktian khusus dari Dewa Siwa dan Durga.
Taru Beringin Setra Pura Dalem Agung Payangan
Misteri Keangkeran Pura Dalem Agung Payangan dikarenakan Pura Dalem Agung Payangan ini sebagai tempat melinggihnya sekaligus Parahyangan ida Bhatari Dalem lingsir tidak dapat dipungkiri Kepingitan maupun Keangkeran dari Pura Dalem tertua di Payangan ini dan cerita masyarakat desa setempat terutama orang tua dahulu maupun masyarakat desa lain yang pernah melihat maupun merasakan keangkeran dari penjaga alam niskala Pura Dalem Agung Payangan menceritakan bahwa bentuk fisik dan tanda unen-unen maupun rencangan ida Bhatari Dalem lingsir apabila tedun/hadir pada saat hari dan waktu tertentu sehingga apabila ada manusia pada saat waktu dan jam yang memang tidak dibenarkan melakukan aktifitas ida duwe pasti menampakan wujudnya dan “ ida Duwe rencangan sangatlah banyak dan menyeramkan serta berwujud yang aneh-aneh” yaitu : Berwujud potongan kepala manusia berkuncung,Berwujud wanita cantik bermahkota,Berwujud Ular Naga,Berwujud Tokek raksasa,Berwujud Ular Putih yang sangat panjang,Berwujud kepiting raksasa,Berwujud Rangda penunggu kuburan,Berwujud tangan-tangan dan kaki yang sering berjalan mengitari wilayah kuburan,Berwujud Ular Kendang/Weling,Berwujud ayam putih berkaki tiga,Berwujud bola api besar berupa Banaspati Raja yang dapat menghanguskan apa saja yang dilaluinya dan masih banyak sekali unen-unen maupun rencangan ida Bhatari Dalem lingsir yang berjumlah ribuan banyaknya dan yang pasti mendengarnya saja membuat bulu kuduk merinding apa lagi merasakan ataupun melihat penampakan yang berupa aneh-aneh tersebut, dan dengan adanya berbagai keunikan yang ada di Pura Dalem Agung Payangan ini baik itu Sekala maupun Niskala membuktikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak sebatas hanya alam semesta maupun Mahkluk Ciptaannya yang nyata tetapi di luar itu Tuhan menciptakan mahkluk di luar dimensi alam lain yaitu alam Niskala. Pura yang berkaitan dengan perjalanan suci Rsi Markandeya di Bumi Payangan yaitu : Pura Murwa Bumi (tengah) Pura Dalem Agung Payangan (timur) Pura AirJeruk / Er Jeruk Payangan (Barat) Pura Agung Payangan (Selatan) dan Pura Puseh Melinggih Payangan (Utara) Kahyangan inilah sebagai panca parahyangan Bhatara-Bhatari lingsir ring Payangan atau tertua di Payangan yang dikarenakan adanya kahyangan ini sebagai awal cikal bakal terbentuknya Parahyangan pertama di Bali. Pura Airjeruk/Erjeruk Payangan yang keberadaannya berkaitan dengan adanya kisah buah jeruk linglang yang hidup hanya di dunia Bhatara yang dapat menghidupkan (urip) mahkluk apapun yang telah Mati dan air dari buah jeruk sakti inilah diminum oleh Rsi Markandeya beserta pengikutnya dalam memulihkan kondisi tubuh setelah merabas Hutan Alas Angker Payangan yang banyak menelan korban jiwa dari pengikutnya Rsi Markandeya sehingga disebut Alas Angker/Hutan Angker dan juga kasiat dari air Jeruk linglang ini diyakini sangat luar biasa hebatnya dalam menyembuhkan berbagai penyakit,namun keberadaan pohon maupun jeruk linglang ini jauh berada di Alam niskala terkadang di hari tertentu terlihat namun juga terkadang tidak terlihat (Maya-Maya) dan hanya di Pura ini saja ada karena buah jeruk linglang ini kesayangan ida Bhatara yang melinggih di pura tersebut sehingga Rsi Markandeya memberi nama Parahyangan Air Jeruk. Pura Agung Payangan adalah Bale Agungnya pulau Bali yang pada jaman dahulu Bale panjangnya sangat amat panjang dan bale agung inilah sebagai tempat pesamuan Agung Rsi Markandeya beserta pengikutnya dalam melakukan kegiatan upacara keagamaan maupun penyebaran ajaran Sekte-sekte aliran kepercayaan di Bali sehingga Bale Agung ini saat itu sebagai yang terpanjang di bali yang panjangnya dari Payangan desa sampai Pura Murwa Bumi desa Pengaji Payangan yang diperkirakan mencapai 1,5 km dan terbukti jejak peninggalan dari sendi kaki dasar pondasi bangunan Bale Agung di tahun 1960an masih terlihat jelas tetapi saat ini sudah tidak terlihat lagi dikarenakan tertutup oleh semak-semak maupun lahan persawahan masyarakat di wilayah desa Karang Suwung Payangan yang artinya pekarangan yang sepi dikarenakan di bongkarnya kayu Bale Agung yang sebagai tempat Pesamuan Agung Rsi Markandeya dan juga sebagai tempat tinggal sementara dari pengikut Rsi Markandeya di bumi Parahyangan yang banyak berpindah tempat ke daerah lain di seluruh Pulau Bali. Pura Puseh Melinggih Payangan memiliki peninggalan benda-benda arkeologi berupa arca dewa-dewi, lingga yoni berbentuk semu,arca Ganesa,arca Bedogol dll. yang telah diteliti oleh para arkeologi dinas kepurbakalaan bahwa Pura Puseh ini ada di zaman awal sekte-sekte kepercayaan di wilayah Payangan pada abad ke-8 dan lebih tua di bandingkan dengan Pura Puseh lain di bali yang sebagai system kahyangan tiga kerajaan Bali kuno rumusan Mpu kuturan di abad ke-11 dan arca di pura puseh ini cenderung mendekati zaman peralihan Megalitic animisme ke zaman era Hindu Siwa di Bali.
Goa Pesiraman Bhatari lingsir Dalem Agung Payangan (Taman Magenda)
Dari tinjauan sejarah tidak banyak diketahui tentang peninggalan Rsi Markandeya secara pasti baik itu di wilayah Kecamatan Payangan maupun di desa Taro Tegalalang tetapi ada sebagian pura peninggalan lain Rsi Markandeya yang belum terungkap dikarenakan adanya politik kerajaan penguasa daerah pada saat itu serta adanya situs Pura kuno peninggalan Beliau yang ada dan Konon setelah berhasil mengembangkan ajaran Siwa di Bali,Rsi Markandeya kembali ke Gunung Raung di jawa timur untuk melakukan tapabrata hingga mencapai Moksa (manunggaling lan gusti) ditempat tersebut. Dari keberadaan Parahyangan/Kahyangan di Bali dapat di sadari bahwa begitu besar jasa Rsi,Mpu,maupun Dhang Guru dalam menyebarkan ajaran Hindu di Bali dan tanpa jasa beliau-beliau di Bali kita tidak akan pernah merasakan nikmatnya hasil karya Agung berupa tradisi ritual sakral yang berbalut seni budaya hingga sampai-sampai pulau kecil nan cantik ini di beri nama The Lord Island (Pulau Dewata) sebutan di mata Dunia internasional kepada pulau Bali oleh karena itu kita sebagai Orang Bali sepatutnya Bangga dan melestarikan Adat Agama maupun tradisi Budaya di Bali karena Bali adalah satu-satunya Warisan Nusantara maupun Dunia.
di kutip dari : http://wwwbumiparahyangan.blogspot.com/