Showing posts with label BUDAYA. Show all posts
Showing posts with label BUDAYA. Show all posts

Monday

MANTRA MEMBERSIHKAN/MENYUCIKAN DIRI

 MANTRA MEMBERSIHKAN/MENYUCIKAN DIRI
 a1. Mantra membersihkan/mencuci muka :


"Om cam camani ya namah swaha"

"Om waktra parisudha ya mam swaha"

 b. Mantra berkumur :

"Om Ang waktra parisudha ya namah swaha"

 c. Mantra membersihkan kaki :

"Om Am khan kasodhaya Iswara ya namah swaha"

d. Mantra membersihkan tangan kanan :

"Om karo sodhaya mam swaha"

e. Mantra membersihkan tangan kiri :

"Om karo atisodhaya mam swaha"

f. Mantra duduk :

"Om Padmasana ya namah swaha"

"Om prasadha stithi sarira siwa suci nimala ya namah swaha"


2. MANTRA MATHIRTHA PANGLUKATAN/PRAYASCITA

"Om pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha, caturti sudha, pancami sudha, sudha sudha sudha waryastu".



3. MANTRA TRISANDYA/GAYATRI

(Sebelum melaksanakan pemuspaan/persembahyangan, sebaiknya melaksanakan puja Trisandya terlebih dahulu)

Om Bhur bhuwah swah

tat sawitur warenyam

bhargo dewasya dimahi

dhiyoyonah pracchodayat.

Om Narayana ewedam sarwam

yad bhutam yascabhawyam

niskalanko niranjano nirwikalpo

niraksatah suda dewa eko

narayana na dwityo asti kascit.

Om Twamsiwah twam mahadewah

Iswarah parameswarah

Brahma Wisnusca Rudrasca

purusah parikirtitah.

Om Papoham papakarmaham

papatma papasambhawah

trahimam pundarikashah

sabhahya bhyantara sucih.

Om Ksamaswamam mahadewa

sarwa prani hitangkarah

mam moca sarwa papebhyah

palayaswa sada siwa.

Om Ksantawya kayiko dosah

Ksantawya wacika mama

Ksantawya manaso dosah

Tat pramadat ksama swamam.

Om Santi, Santi, Santi, Om.



4. MANTRA MUSPA (Panca Sembah)

   a. Muspa/sembah puyung (Nunas Pa
   "Om atma tatwatma sudha mam swaha.


   b.Muspa/sembah dengan bunga kuning (Pengacep Surya)
   "Om Adityasya parajyotirakta teja namastute sweta pangkaja madhyasta, bhaskara   ya namo stute".

   "Om pranamya bhaskara dewam sarwa klesa winasanam pranamya ditya siwartham bhukti mukti warapradham".

   "Om rang ring sah pramasiwa ditya ya namah swaha".

   c.Muspa/sembah dengan bunga/kwangen
   nugrahan)
   "Om Nama dewa adisthanaya

sarwawya pinesiwaya

padmasanaya eka prathisthaya

ardhanareswarya namo namah swaha".

d. Muspa/sembah dengan bunga jangkep/lengkap (Pangacep Samedaya)

"Om Anugrahaka manohara

dewa datta nugrahaka

arcanam sarwa pujanam

namah sarwa nugrahaka".

"Om Dewa dewi maha siddhi

yajnangga nirmalatmaka

laksmi siddisca dirghayuh

nirwighna sukha wrddhisca".

"Om hayu wrddhi yasa wrddhi

wrddhi pradnya suka sriyam

dharma santana wrddhisca

santute sapta werddhayah".

"Om yawan meru stito dewah

jawad gangga mahetale

candrarka ganggane yawat

tawad wijayi bhawet".

"Om sukham bhawatu".

"Om purnam bhawatu".

"Om sreyo bhawatu, sapta wrdhis astu".

e. Muspa/sembah puyung (Pangaksama)

"Om Dewa suksma parama acintya nama swaha".

"Om Santi, Santi, Santi, Om".



5. MANTRA MATIRTHA WANGSUHPADA dan MABIJA

a. Dipercikkan tiga kali (tirtha kundalini)

"Om Ang Brahma Amertha ya namah".

"Om Ung Wisnu Amertha ya namah".

"Om Mang Iswara Amertha ya namah".

b. Minum Tirtha 3 kali (tirtha pawitra jati)

"Om Sarira Paripurna ya namah".

"Om Ang Ung Mang Amertha Sarira sudha pramantya ya namah".

"Om Ung Ang Ksama sampurna ya namah".

c. Mesugi/Meraup/Membasuh Muka 3 kali (tirtha kamandalu)

"Om Siwa Amertha ya namah".

"Om Sada Siwa Amertha ya namah".

"Om Parama Siwa ya namah".
d. Mabija (di kening dan leher)
"Om Kum Kumara bija ya namah swaha"



6. MANTRA MEPAMIT MENINGGALKAN TEMPAT SUCI

"Om ksama swamam mahadewa,

sarwa prani hitangkarah,

mamoca sarwa papebhyah,

palayaswa sadasiwa".


7. MANTRAM BUKTIANG SEGEHAN/CARU

"Om buktiantu durga ketara,

buktiantu kala mewaca,

buktiantu buta butanggah,

buktiantu sarwa butanam,

buktiantu pica citanggyam".

"Om durga loke boktaya swaha."

"Om kala loke boktaya swaha."

"Om pisace sanggyam loke boktaya swaha."

"Om kala bucari ya namah swaha."

"Om buta bucari ya namah swaha."
sumber: Buku Nitya Karma Puja

puput

Kilas Balik ( Ngaben Ngerit Desa Adat Sema 2013)

     Warga Desa Pekraman (Adat) Sema, Desa Melinggih Kaja, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali, menggelar ngaben massal. Ngaben tersebut melibatkan 63 sawa (kerangka jenazah) satu di antaranya ada yang baru meninggal tiga hari menjelang kegiatan digelar. sawa terdiri atas berbagai keturunan (soroh) seperti Sangging, Pasek, Bendesa Mas dan Brahmana membaur dalam kegiatan ngaben massal tersebut. Warga Desa Pekraman (Adat) Sema yang berjumlah 437 kepala keluarga semuanya terlibat dalam persiapan ngaben massal tersebut dan masing-masing ikut menanggung biaya sebesar Rp 793.000 per kepala keluarga. Ngaben massal merupakan lambang persaudaraan agung yang tumbuh dari rasa kebersamaan dalam 'menyama beraya' (persaudaraan) antar sesama umat manusia, sekaligus landasan kehidupan sehari-hari yang dijalani.


































Saturday

Raja Kuning yang Disakralkan

Ratusan masyarakat setempat menyaksikan atraksi 'Raja Kuning' (panjat pohon pinang) yang disakralkan masyarakat di kawasan  Banjar Sema, Kecamatan Payangan, Gianyar pada Umanis Kuningan, (26/7) petang.

Kegiatan itu bukan sekedar panjat pinang seperti acara tujuhbelas Agustusan, namun merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan masyarakat Desa Pakraman Sema yang lokasinya di tengah-tengah pulau Bali, 10 Km utara lokasi wisata Ubud.

Sebelum kegiatan panjat pohon pinang, diawali dengan persembahyangan bersama oleh masyarakat, baru kemudian atraksi dimulai dan pelaksanaannya setiap Umanis Kuningan dan tidak pernah absen kecuali desa tersebut mengalami Cuntaka (halangan).

Pohon pinang sebelum dipanjat dibuat halus dan dipoles dengan oli supaya licin, sehingga sulit mendapatkan berbagai hadiah menarik yang tergantung di puncak pohon yang tingginya hingga 20 meter dan merupakan tertinggi selama ini.

Pemanjat pohon pinang adalah pria pilihan dari anak-anak muda yang sudah biasa memanjat pohon. Para pemanjat dengan muka yang dihias sedemikian rupa, begitu masuk arena mendapat tepukan tangan hadirin untuk menambah semangat.

Para pria itu akan bertambah berambisi untuk bisa meraih hadiah yang tergantung di atas pohon, ditambah lagi dengan diiringi bunyi gambelan dan sorakan pengunjung yang hadir sebagai upaya membakar semangat para pemanjatnya.

Wisatawan mancanegara yang hadir, ada datang secara perorangan maupun berkelompok yang khusus menyaksikan kegiatan sepertinya disakralkan oleh penduduk setempat, karena segala sesuatunya dilakukan secara tulus dan diupacarai sebelum dimulai.

Sejumlah tokoh masyarakat menyebutkan bahwa kegiatan ini belum diketahui kapan dimulainya, karena sejak diingat sudah berlangsung kegiatan 'Raja Kuning' pada setiap Umanis Kuningan dan konon pernah masyarakat meniadakannya ternyata muncul marabahaya.


Sejak peristiwa itu ada dan tidak diketahui kapan terjadinya, masyarakat tidak berani absen menyelenggarakan Raja Kuning pada hari Umanis Kuningan kecuali ada 'cuntaka' seperti halnya ada warga setempat yang meninggal dunia.

Masyarakat Banjar Sema terutama anak-anak mudanya senang dan tulus mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut dengan biaya yang diperoleh dari donasi penduduk dan selalu dipadati masyarakat yang menyaksikan atraksi itu.

Banyak turis asing yang menginap di kawasan wisata Ubud, Begawan, Tegalalang dan Kedewatan yang sudah mengetahui informasi itu sebelumnya, datang khusus menyaksikan Raja Kuning di Banjar Sema, dengan naik sepeda gayung maupun motor berboncengan.

Lomba Mancing Di Banjar Sema

Minggu, 10 juni 2012, Pecalang tabeng dada desa dalem agung mengadakan Lomba Mancing dengan
harga tiket sebesar 60 ribu rupiah. Dengan tebaran ikan lele sebanyak 1 ton.
Jumlah peserta yang datang untuk lomba mancing kali ini sebanyak 1800 orang. Kolam Lomba yang digunakan adalah sungai(telabah)mincid. turut juga hadir dalam acara ini,yaitu bapak wakil gubernur bali bapak Drs Puspayoga. Untuk lomba mancing kali ini, panitia menyediakan hadiah-hadiah sebagai berikut:
■Juara I hadiah utama - 1 unit motor suzuki nex.
■Juara II - 1 ekor godel.
■Juara III - 1 ekor godel.
■Juara IV - tv 21 .
■Hadiah hiburan (doorprize) berupa Handphone,magic com , kipas angin, payung, dll.

Sunday

Pura Luhur Natar Sari Apuan

Stana Sang Hyang Siwa Pasupati, Tempat ''Paruman'' Barong Jika umat Hindu pedek tangkil ke Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan pada saat pujawali ageng, ada sesuatu yang unik dapat disaksikan. Pura yang di-empon lima desa adat -- Apuan, Jelantik, Tua, Bunutin dan Pinge -- itu dikenal sebagai kahyangan tempat nunas pasupati tapakan barong. Maka ketika berlangsung pujawali -- yang jatuh pada setiap Saniscara Kliwon Wuku Krulut Tumpek Krulut (setahun sekali) -- puluhan tapakan barong lunga ke pura tersebut. Barong yang menjadi sungsungan umat Hindu di lima kabupaten di Bali itu datang mengikuti prosesi katuran tengah malam, dan sebagian di antaranya masolah. Apalagi yang unik di kahyangan jagat itu?
Pura Natar Sari terletak di perkampungan -- Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, sekitar 40 km utara Denpasar. Di pura ini terdapat pelawatan Ida Batara sejenis wayang wong yang memakai figur dan topeng wayang seperti Rahwana, Hanoman, Sugriwa, Anila dan dua punakawan Sangut dan Delem. Figur-figur pelawatan itu berjumlah sembilan. Dalam Purana Pura Luhur Natar Sari yang ditulis K. Sudarsana dan I Wayan Widarsana, S.Sos. disebutkan, tapakan berjumlah sembilan itu disebut Nawa Sangga atau Gunung Sia adalah perwujudan atau manifestasi Tuhan dalam bentuk Dewata Nawa Sangga yang disimbolkan dengan tokoh pewayangan.
Anoman, warnanya putih merupakan perlambang Dewa Iswara bersenjata bajra.
Anggada, warnanya dadu merupakan perwujudan Sang Hyang Maheswara.
Singajnana warnanya merah lambang Dewa Brahma.
Sugriwa warnanya jingga perlambang Dewa Rudra,
Sangut atau Ratu Ngurah Ketut warnanya kuning perlambang Dewa Mahadewa.
Anila warnanya hijau perlambang Dewa Sangkara.
Delem atau Ratu Ngurah Made warnanya kehitam-hitaman perwujudan Dewa Wisnu.
Sempati warnanya abu-abu perlambang Dewa Sambu dan
Rahwana atau Ratu Ngurah Sakti Ngawa Rat dengan warna mancawarna perwujudan Dewa Siwa.
Pewayangan Ida Batara tersebut merupakan manifestasi Sang Hyang Siwa Pasupati -- Tuhan Yang Mahakuasa. Di pura yang satu areal dengan Pura Puseh Desa Adat Apuan dan Jelantik ini terdapat sejumlah pelinggih. Pelinggih yang digunakan untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widi Wasa adalah Padmasana (Padma Lingga). Padmasana tinggi besar itu berdiri menghadap ke selatan, berdampingan dengan Padma Tiga dan Gedong Simpen. Di atas Padmasana ditempatkan sebuah batu hitam berisi tapak tangan (kara tala). Di utamaning mandala pura juga terdapat pelinggih Padma Tiga, pesimpangan Pura Dalem Peed, pesimpangan Pura Batu Bolong, Pesimpangan Pura Pucak Padang Dawa, Pura Ulun Danu, Pesimpangan Pura Jati dan sebagainya. Pelingih lainnya berupa Papelik, Gedong Simpen, Bale Pawedan, Bale Pemayasan, Meru Tumpang Tiga, Panglurah, dan sejumlah Bale Paruman. Pura Luhur Natar Sari memiliki keterkaitan dengan Pura Pucak Padang Dawa (juga di wilayah Kecamatan Baturiti). Pura Pucak Padang Dawa merupakan payogan Ida Batara yang distanakan di Pura Luhur Natar Sari. Atau, Pura Natar Sari merupakan penataran dari Pura Pucak Padang Dawa. Hal itu dikuatkan oleh uger-uger atau bukti-bukti di antaranya, jika tapakan Ida Batara Pura Natar Sari akan melancaran/ lunga/ ngunya ke jaba kuta, pertama-tama mesti makolem -- napak pertiwi/ mayasa di payogan Ida Batara di Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Bukti lainnya, pemangku Pura Penataran Agung Pucak Padang Dawa dan pemangku Pura Dalem Purwa Pucak Padang Dawa berasal dari Apuan. Apit lawang pada kebanyakan pura di Bali berupa pelinggih, namun di Pura Pucak Padang Dawa berupa manusia hidup yang berasal dari Desa Apuan -- yang pratisentana-nya masih ada sampai sekarang. Bukti lainnya, pada saat pujawali ageng di Pura Luhur Natar Sari, wajib ngunggahang upakara (banten) di Pura Penataran Agung Pucak Padang Dawa. Selain memiliki keterkaitan dengan Pura Pucak Padang Dawa, Pura Luhur Natar Sari juga terkait dengan Pura-pura lain. Misalnya: Pura Pucak Peninjauan di Banjar Tampakkarang Apuan, Pura Bakungan di Banjar Uma Poh,Desa Bangli-Baturiti, Pura Pucak Sari Nadi-Baturiti, Pura Batu Lumbang di Desa Sandan-Baturiti, Pura Bukit Sari Baturiti, Pura Gunung Lebah di Banjar Tegeh-Angseri, Pura Paruman di Belayu-Marga, Pura Puser Tasik-Marga, Pura Batu Bolong Canggu-Badung, Pura Pucak Sangkur di Candi Kuning, dan Pura Dalem Peed-Klungkung. Pura Natar Sari terkait pula dengan Pura Pucak Anyar-- Pesimpangan Pura Pucak Pengungangan-Baturiti, Pura Taman Sari di Banjar Apit Yeh-Baturiti, Pura Jemeng di Banjar Pinge-Marga, Pura Purusadha (Pura Sada) Kapal-Badung, Pura Bukit Gede Poyan Luwus-Baturiti, Pura Panti Apuan, Pura Bencuing-Kukub-Perean, Pura Pucak Tinggan-Angseri Tabanan, Pura Penataran di Banjar Sandan-Baturiti, Pura Taman Ayun-Mengwi Badung, Pura Tri Kahyangan Desa Adat Apuan-Jelantik Baturiti Tabanan, Pura Bukit Sari Apuan Tabanan, Pura Puseh Desa Adat Tua-Marga Tabanan, Pura Pucak Rinjani-Baturiti Tabanan, Pura Jati, Batur, Kintamani-Bangli, Pura Campuan Ubud-Gianyar, Pura Kekeran Manik Gunung, Pura Katik Lantang Ubud Gianyar, dan Pura Puseh Gelagah-Marga Tabanan. Tahun 2004 di Pura ini sempat digelar Karya Agung Mamungkah lan Ngenteg Linggih mengambil tingkatan utamaning utama. Pujawali di Kahyangan Jagat yang bertepatan dengan rerahinan Tumpek Krulut ini, selalu ngerawuhin barong dalam jumlah yang banyak. Demikian pula pada pujawali Sabtu (8 maret 2008) lalu, 27 tapakan barong yang menjadi sungsungan ribuan umat Hindu di lima kabupaten -- Tabanan, Gianyar, Badung, Bangli dan Jembrana -- hadir mengikuti prosesi upacara yang dalam bahasa umat setempat disebut katuran. Dalam prosesi katuran, seluruh Tapakan Ratu Gede napak pertiwi. Sesuhunan di Pura Luhur Natar Sari -- Ida Batara Nawa Sanga dan semua Tapakan Ratu Gede -- diturunkan dari Bale Paruman, Bale Tiang Sanga dan Bale Pemayasan guna napak pertiwi. Para penyungsung mundut Ida Batara selama upacara katuran yang berlangsung sekitar dua jam. Para pamedek saling bergantian mundut Ida Batara, menambah eratnya rasa persaudaraan (penyamabrayan). Para pemangku dari berbagai desa pakraman bahu-membahu ngaturang ayah. Mereka mengantarkan umat ngaturang bakti ke hadapan Hyang Widi, guna memohon kerahayuan jagat. Setelah katuran selesai Ida Tapakan Ratu Gede kembali distanakan di Bale Paruman. Beberapa di antaranya lalu dipentaskan (masolah). Para pamedek sama-sama menyaksikan pergelaran tari wali tersebut. Prosesi ritual seperti itu sesungguhnya berdimensi religius sekaligus sosial-budaya. Artinya, masyarakat Hindu dari berbagai daerah selain terlibat dalam proses ritual dalam rangka memohon kerahayuan jagat, juga menyatu dalam kebersamaan, mempererat tali kekerabatan, berinteraksi membangun kesadaran beragama dan melestarikan budaya.